Museum Saja Adaptif Terhadap
Perubahan Apalagi Organisasi
Rabu,
14 November 2012 19:27 WIB | 1347 Views
Ahmad
Mukhlis Yusuf
Jakarta
(ANTARA News) - Terletak di tengah Kota Tua, Museum Bank Indonesia mudah
ditemukan. Gedung ini bisa dijangkau dari berbagai arah dan beragam moda
transportasi.
Bila
tak menggunakan kendaraan pribadi, kita dapat menggunakan bus Trans Jakarta
atau kereta api listrik. Tinggal berhenti di Stasiun Kota, dan perjalanan
dilanjutkan dengan berjalan kaki.
Pagi itu, hari Kamis, 8 November 2012, untuk pertama kalinya saya mengunjungi Museum tersebut. Saya menghadiri seminar ekonomi yang diselenggarakan keluarga besar alumni Asian Institute of Management (AIM), sekolah bisnis dan manajemen yang berpusat di Makati City, Filipina.
Seminar itu menampilkan para pembicara yang kompeten, di antaranya Arifin Siregar (mantan Gubernur Bank Indonesia), Steven Dekrey (President AIM) , dan Poltak Hotdaero (Danareksa). Mereka membahas tentang dampak krisis keuangan dunia terhadap kawasan Asia dan negeri ini.
Pagi itu, hari Kamis, 8 November 2012, untuk pertama kalinya saya mengunjungi Museum tersebut. Saya menghadiri seminar ekonomi yang diselenggarakan keluarga besar alumni Asian Institute of Management (AIM), sekolah bisnis dan manajemen yang berpusat di Makati City, Filipina.
Seminar itu menampilkan para pembicara yang kompeten, di antaranya Arifin Siregar (mantan Gubernur Bank Indonesia), Steven Dekrey (President AIM) , dan Poltak Hotdaero (Danareksa). Mereka membahas tentang dampak krisis keuangan dunia terhadap kawasan Asia dan negeri ini.
Saya
yakin, senior saya, Dennis Firmansjah, Ketua Alumni AIM Indonesia sengaja
memilih gedung ini. Selain tempatnya yang nyaman dan juga bersejarah, Dennis
juga "pamer" kepada para peserta yang datang dari berbagai negara
untuk memperkenalkan Museum ini.
"This
is the best central bank museum in this region," ujarnya bersemangat.
Salut.
Para
pembicara berbagi tips tentang bagaimana mengatasi ketidakpastian iklim usaha
dan lingkungan organisasi, baik bisnis maupun non bisnis.
Mereka juga berpesan bahwa adaptasi
terhadap perubahan justru harus diperkuat oleh fondasi dan kompetensi yang
kuat, menyertai diferensiasi
strategi yang pas untuk membidik pasar atau para pemangku kepentingan
masing-masing.
Pemaparan
materi dilanjutkan dengan diskusi yang hangat. Saya pun sempat didaulat menjadi
salah satu moderator sesi diskusi tentang kepemimpinan yang disampaikan Steven
Dekrey. Pembicara yang inspiratif.
Dekrey
menyatakan bahwa sekarang dan masa depan adalah era dimana aktualisasi
nilai-nilai dapat menjamin keberlanjutan sebuah organisasi.
Sifat-sifat
pemimpin yang jujur, inspiratif, visioner akan membawa organisasi tumbuh kokoh
dan berkelanjutan. Saya jadi ingat pelajaran saat di madrasah dulu tentang
syarat pemimpin yang jujur (shidiq), terpercaya (amanah), kompeten (fathonah)
dan komunikatif (tabligh).
Perbincangan
yang menarik sekali. Tiga kunci keberlanjutan organisasi menurut para
pembicara, yaitu responsif dan adaptif terhadap perubahan, fondasi nilai-nilai
yang kuat, dan kompetensi yang terus dirawat.
Saya
ingat pandangan seorang penulis, Arie De Geus: "Kompetensi yang tumbuh
selalu lahir dari organisasi yang hidup" katanya dalam buku "the
living organization".
Saat
rehat kopi, saya menyempatkan diri ke kamar kecil di lantai bawah yang terletak
di bagian belakang auditorium.
Sepanjang
selasar menuju kamar kecil itu, terbentang beberapa ruangan yang kokoh dan
indah.
Saat
menengok ke dalam, terlihat berbagai memorabilia sejarah bank sentral negeri
ini tertata dengan baik.
Pada
ruangan lain, tersimpan berbagai mata uang yang pernah digunakan oleh negeri
ini, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan.
Banyak
lagi informasi lainnya seputar perkembangan sejarah Bank Indonesia dan
peranannya pada berbagai era.
Museum
itu juga rupanya adaptif terhadap kebutuhan pengunjung. Selain berisi
memorabilia sejarah bank sentral dan mata uang, museum juga dilengkapi kios
buku dan cinderamata, kafe, restoran, perpustakaan, dan juga fasilitas mesjid
untuk beribadah.
Mesjidnya
dinamakan Masjid Sjafrudin, yang diambil dari nama mantan gubernur Bank
Indonesia, Sjafrudin Prawiranegara (alm).
Dari
sumber resmi diperoleh informasi bila gedung ini telah ditetapkan sebagai salah
satu cagar budaya oleh Pemerintah RI.
Menurut
catatan, gedung didirikan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1828. Berarti
sudah hampir mendekati usia 200 tahun, atau dua abad.
Soft
opening Museum oleh Burhanudin Abdullah pada 15 Desember 2006, dan grand
opening oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Juli 2009. Gedung ini
masih kokoh, dirawat oleh salah satu unit kerja Bank Indonesia.
Museum
yang terletak di Jalan Pintu Besar Utara no. 3, Jakarta Barat ini terbuka untuk
umum dan gratis. Buka setiap hari kecuali hari Senin dan Hari Libur Nasional.
Buka jam 08.00 hingga 14.30, khusus Jumat pukul 08.30-11.00 WIB. Hari Sabtu dan
Minggu lebih leluasa dari jam 09.00-16.00 WIB.
Tumbuhnya
sebuah organisasi dan terawatnya sebuah museum adalah dua hal yang berbeda.
Namun, hari itu saya memetik pelajaran penting yang berharga, setidaknya buat
saya pribadi.
Bukankah
keduanya harus dibangun dengan fondasi yang kokoh?
Bukankah
keduanya juga harus dirawat dengan "ruh" atau semangat agar terus
dijamin keberlanjutannya untuk menjalankan misi masing-masing?
Saat
meninggalkan museum itu, sepanjang jalan saya di wilayah Kota Tua itu, saya
melewati banyak gedung tua lain, namun tak terawat dan terbengkalai. Sayang
sekali.
Kepada
sopir taksi yang membawa meninggalkan museum, saya bertanya siapa yang merawat
taksi berwarna biru yang terlihat bersih dengan kaki-kaki mobil yang kuat dan
nyaman saat melewati gundukan polisi tidur yang kami lewati?. "Perusahaan
melakukan service berkala Pak," ujarnya.
Dari website Bank Indonesia, diperoleh informasi bahwa perawatan museum dan pengayaan materi-materi didalamnya adalah salah satu misi penyebaran sejarah bank sentral dan mata uang oleh Bank Indonesia.
Dari website Bank Indonesia, diperoleh informasi bahwa perawatan museum dan pengayaan materi-materi didalamnya adalah salah satu misi penyebaran sejarah bank sentral dan mata uang oleh Bank Indonesia.
Lalu,
bukankah keduanya juga harus adaptif terhadap perubahan lingkungan? Sehingga
keduanya bisa terus relevan pada era yang berubah.
Museum
menyesuaikan diri untuk lebih memenuhi keperluan para pengunjung, apalagi
organisasi yang terdiri atas sekumpulan manusia yang memiliki pikiran dan
perasaan yang berbeda-beda untuk melayani para pemangku kepentingan utamanya.
Ketika
lingkungan dan harapan stakeholder berubah, akankah organisasi menjadi
"dinosaurus" karena para pengelola membiarkan zaman meninggalkannya?
Tentu saja tidak boleh terjadi. Banyak contoh untuk disebutkan.
Menjawab
pertanyaan penulis saat diskusi tentang prediksi lingkungan strategis tahun
2013, Pak Arifin Siregar mengingatkan bahwa dampak krisis keuangan dunia akan
lebih terasa pada tahun depan, terutama bagi produk yang berpasar ekspor.
"Kuasai
pasar dalam negeri dengan efisien dan kelola organisasi dengan tetap
hati-hati," katanya.
Bayangkan, museum yang dipersepsikan sebagai bagian dari masa lalu saja harus berorientasi pelayanan kepada para pemangku kepentingannya agar relevan pada masa kini dan masa depan, apalagi organisasi yang hidup dan matinya tergantung bagaimana pengalaman para pelanggan atau masyarakat yang dilayaninya.
Bayangkan, museum yang dipersepsikan sebagai bagian dari masa lalu saja harus berorientasi pelayanan kepada para pemangku kepentingannya agar relevan pada masa kini dan masa depan, apalagi organisasi yang hidup dan matinya tergantung bagaimana pengalaman para pelanggan atau masyarakat yang dilayaninya.
Anda
dan saya juga, tentu tak ingin jadi bagian masa lalu yang ditinggal para
pemangku kepentingan dan pasar, bukan?
source: http://www.antaranews.com/berita/343515/museum-saja-adaptif-terhadap-perubahan-apalagi-organisasi
Analisis:
Di dalam artikel opini
tersebut, terdapat dua jenis artikel yaitu Artikel
Deskriptif.
Di awal artikel,
penulis menjelaskan seminar ekomoni yang ia ikuti di Museum Bank Indonesia.
Selanjutnya ia memaparkan bagaimana keadaan museum itu, seperti yang tertulis
pada kalimat berikut..
Sepanjang
selasar menuju kamar kecil itu, terbentang beberapa ruangan yang kokoh dan
indah.
Saat
menengok ke dalam, terlihat berbagai memorabilia sejarah bank sentral negeri
ini tertata dengan baik.
Pada
ruangan lain, tersimpan berbagai mata uang yang pernah digunakan oleh negeri
ini, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan.
Banyak
lagi informasi lainnya seputar perkembangan sejarah Bank Indonesia dan
peranannya pada berbagai era.
Museum
itu juga rupanya adaptif terhadap kebutuhan pengunjung. Selain berisi
memorabilia sejarah bank sentral dan mata uang, museum juga dilengkapi kios
buku dan cinderamata, kafe, restoran, perpustakaan, dan juga fasilitas mesjid
untuk beribadah.
Mesjidnya
dinamakan Masjid Sjafrudin, yang diambil dari nama mantan gubernur Bank
Indonesia, Sjafrudin Prawiranegara (alm).
Dari
sumber resmi diperoleh informasi bila gedung ini telah ditetapkan sebagai salah
satu cagar budaya oleh Pemerintah RI.
Menurut
catatan, gedung didirikan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1828. Berarti
sudah hampir mendekati usia 200 tahun, atau dua abad.
Soft
opening Museum oleh Burhanudin Abdullah pada 15 Desember 2006, dan grand
opening oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Juli 2009. Gedung ini
masih kokoh, dirawat oleh salah satu unit kerja Bank Indonesia.
Pada bagian akhir
artikel, penulis memaparkan bagaimana korelasi antara materi seminar yang ia
ikuti dengan keadaan Museum Bank Indonesia. Seperti dalam kalimat berikut..
Tumbuhnya
sebuah organisasi dan terawatnya sebuah museum adalah dua hal yang berbeda.
Namun, hari itu saya memetik pelajaran penting yang berharga, setidaknya buat
saya pribadi.
Bukankah
keduanya harus dibangun dengan fondasi yang kokoh?
Bukankah
keduanya juga harus dirawat dengan "ruh" atau semangat agar terus
dijamin keberlanjutannya untuk menjalankan misi masing-masing?
Dalam artikel
tersebut penulis mencoba untuk menjelaskan bagaimana sebuah organisasi atau
Museum harus memiliki pondasi yang kokoh agar dapat bertahan.